Era Otonomi Daerah yang dimulai sejak 1999 mengakibatkan pergeseran struktur kekuasaan, dari pola consensual elite ke competitive elite,
sekaligus menandai babak baru kehidupan sosial politik di Indonesia
yang lebih demokratis dengan sistem multi partai. Sebab, pada era
sebelumnya hampir selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru, pemilihan
presiden hingga kepala daerah (Gubernur, bupati, walikota) melalui
proses musyawarah untuk mufakat. Akibat dari sistem terbuka dan multi
partai, para calon kepala daerah bersaing secara terbuka dengan berusaha
sekuat tenaga mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya untuk menjadi
pemenang. Suasana persaingan yang kadang-kadang sangat keras tak
terhindarkan. Karena itu, setiap menjelang pilkada suhu politik biasanya
memanas, tak terkecuali di kota Malang.
Selain memasang foto di hampir semua tempat-tempat strategis dan di ruang-ruang publik, semua calon membuat singkatan nama calon dan pasangannya. Misalnya, Dwi Cahyono-Nuruddin disingkat “DWI-UDDIN”, pasangan Achmad Mujais-Yunar Mulya disingkat “RAJA” , pasangan Moch. Anton-Sutiaji disingkat “AJI”, Heri Pudji Utami dan Sofyan Edi Jarwoko (disingkat DaDi), pasangan Sri Rahayu-Priyatmoko Oetomo disingkat SR-MK, dan pasangan Agus Dono-Arif H.S disingkat “DOA”.
Tujuannya tidak lain adalah untuk memudahkan diingat dan lebih komunikatif. Tanpa disadari atau tidak, para pelaku politik di kota Malang telah memanfaatkan kekuatan bahasa dan simbol sebagai piranti menggapai kekuasaan dan tidak semata menggunakan sumber ekonomi sebagai instrumen utama. Di balik singkatan, slogan dan wara serta bentuk pakaian para politisi terdapat suatu konsep yang bekerja di dalam suatu sistem politik, khususnya dalam ranah komunikasi politik. Dari sisi komunikasi politik, di antara singkatan nama para calon, singkatan DOA (Agus Dono dan Arif H.S) yang paling efektif, karena mudah mengingatnya.
0 comments:
Post a Comment