Home » » Gotong Royong Kesesatan

Gotong Royong Kesesatan

Written By Unknown on Wednesday, April 18, 2012 | 7:44 PM

Oleh Yudi Latif

Perwujudan demokrasi Indonesia ibarat baju yang dikenakan secara terbalik. Nilai dasar demokrasi Indonesia adalah semangat gotong royong, penuh rasa kekeluargaan. Dalam perkembangannya, praktik gotong royong itu hadir dalam kecenderungan toleransi negatif: akomodasi kepentingan pragmatis, transaksional, dagang sapi, tolong-menolong dalam korupsi, dan pengkhianatan.

Sedangkan rasa kekeluargaan tergelincir menjadi kecenderungan demokrasi yang dikuasai oleh keluarga-keluarga menurut garis kekuatan modal atau dinasti politik. Situasi demokrasi seperti itulah yang dulu dikhawatirkan oleh Mohammad Natsir. Dalam pandangannya, kecenderungan Pancasila yang mengakomodasikan ragam nilai bisa mengarah pada toleransi negatif, yang berpretensi untuk sekadar berkompromi demi mengakomodasi segala aspirasi, namun tidak berusaha aspirasi, namun tidak berusaha untuk mencapai yang terbaik.

“Toleransi tanpa konfrontasi sesungguhnya bukanlah toleransi yang kita maksud, karena itu hanya berarti mengelakkan persoalan .... Yang kita perlukan ialah konfrontasi dalam suasana toleransi sehingga dari pembenturan antara ide-ide dan pemikiran yang kita ajukan masing-masing kita sampai pada kebenaran.“

Menghadapi kekhawatiran seperti itu, Roeslan Abdoelgani menyatakan bahwa toleransi menyatakan bahwa toleransi yang dikehendaki Pancasila adalah suatu kompromi dalam konteks toleransi yang positif karena senantiasa dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. “Saya tahu bahwa ada pihak-pihak yang tidak suka mendengar kata kompromi. Secara absolut kompromi diartikan sebagai akibat kelemahan. Padahal, sering kali kompromi lahir bukan karena kelemahan, melainkan justru karena kekuatan keyakinannya yang dalam menghadapi realitas menggunakan toleransi yang positif (positive verdraagzaamheid) atau hikmah kebijaksanaan untuk berkompromi. Berkompromi untuk tujuan yang lebih tinggi; berkompromi tidak dalam arti `cease-fire' tapi dalam arti hidup berdampingan secara damai dan ber-synthese.“

Jauh-jauh hari, dalam pidato kelahiran Pancasila, 1 Juni 1945, Bung Karno pun telah mengingatkan pentingnya semangat konfrontasi yang positif. Dalam pandangannya, “Tidak ada satu staat yang hidup betul-betul hidup, jikalau di dalam badan perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah Candradimuka, kalau tidak ada perjuangan paham di dalamnya.“ Permusyawaratan diharapakan dapat dibimbing oleh semangat kekeluargaan berdasarkan hikmah-kebijaksanaan agar dapat mencapai sintesis yang bermutu bagi kebaikan semua.

Sila keempat Pancasila, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan“ menghendaki demokrasi yang mengandung cita kerakyatan, cita permusyawaratan, dan cita hikmat-kebijaksanaan. Cita kerakyatan hendak menghormati suara rakyat dalam politik, dengan memberi jalan bagi peranan dan pengaruh besar yang dimainkan oleh rakyat dalam proses pengambilan keputusan oleh pemerintah.

Cita permusyawaratan memancarkan kehendak untuk untuk menghadirkan negara persatuan yang dapat mengatasi paham perseorangan dan golongan, sebagai pantulan dari semangat kekeluargaan dari pluralitas kebangsaan Indonesia, dengan mengakui adanya “kesederajatan/persamaan dalam perbedaan“.

Cita hikmat-kebijaksanaan merefleksikan orientasi etis, sebagaimana dikehendaki oleh Pembukaan UUD 1945 bahwa susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat itu hendaknya didasarkan pada nilai ketuhanan, perikemanusiaan, persatuan, permusyawaratan dan keadilan.

Dalam demokrasi permusyawaratan, keputusan politik dikatakan benar jika memenuhi setidaknya empat prasyarat. Pertama, harus didasarkan pada asas rasionalitas dan keadilan bukan hanya berdasarkan subjektivitas ideologis dan kepentingan. Kedua, didedikasikan bagi kepentingan banyak orang, bukan demi kepentingan perseorangan atau golongan.

Ketiga, berorientasi jauh ke depan, bukan demi kepentingan jangka pendek melalui akomodasi transaksional yang bersifat destruktif (toleransi negatif). Keempat, bersifat imparsial, dengan melibatkan dan mempertimbangkan pendapat semua pihak (minoritas terkecil sekalipun) secara inklusif, yang dapat menangkal dikte-dikte minoritas elite penguasa dan pengusaha serta klaim-klaim mayoritas.[]


*REPUBLIKA (18/4/12)



___________ *posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Kejayaan Indonesia
Share this article :

0 comments:

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template | PKS PIYUNGAN | PKS Tegal | PKS Magelang | PKS Jaktim | PKS Pontianak | PKS Sumut | MBO indonesia | Caksub
Copyright © 2013. PKS Kedungkandang - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger