Home » , » Erdogan: Menumbangkan Rezim Tanpa Peluru

Erdogan: Menumbangkan Rezim Tanpa Peluru

Written By Unknown on Thursday, October 4, 2012 | 2:59 AM


TURKI kini menjelma menjadi kekuatan baru yang diperhitungkan di dunia internasional. Situasi ini tak lepas dari sosok kepemimpinan Recep Tayyip Erdogan, sang Perdana Menteri. Lewat Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) atau Partai Keadilan dan Pembangunan, Erdogan berupaya merealisasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan masyarakat Turki. Tentu saja upaya ini tidak mudah. Sejak berdekade silam, berbagai upaya memunculkan Islam di panggung politik Turki selalu dipatahkan oleh kalangan sekularis dengan dukungan militer Turki.

Kini situasi berubah. Erdogan berhasil memberi pelajaran mahal kepada militer agar dapat menghormati supremasi sipil. Larangan jilbab dicabut. Perbuatan zina juga  diusulkan menjadi pelanggaran pidana. Ekonomi Turki yang sebelumnya terpuruk, melesat pesat. Mata uang Lira yang dulu terkapar, kini bertaji. Posisi Turki di kawasan maupun di dunia Islam, makin diperhitungkan. Turki bahkan menjelma menjadi momok menakutkan bagi arogansi Israel di Timur Tengah.

Erdogan bersama koleganya di AKP adalah pejuang dengan setumpuk cita-cita yang belum selesai: mengembalikan umat Islam sebagai pemimpin peradaban. Dan, cerita itu sudah dimulai sekarang.

***

Turki seperti terlahir kembali di tangan Erdogan. Ia menaklukkan kepongahan sekularisme Turki yang dibidani oleh Kemal Ataturk.

Ada yang tak biasa pada Perdana Menteri Turki sekarang. Di mana pun berada, ia kerap didampingi wanita cantik yang senantiasa berjilbab. Wanita itu tetap kukuh dengan jilbabnya, sekalipun kecaman datang bertubi-tubi. Dialah Emine Erdogan, istri Perdana Menteri  Recep Tayyip Erdogan.

Bagi Turki pemandangan seperti itu aneh. Karena, jilbab adalah simbol keagamaan.

Sedangkan Turki sudah membuang simbol-simbol keagamaan sejak 88 tahun lalu, yakni sejak Turki menerapkan sekularisme dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Sejak itu, jilbab  dilarang keras.

Namun kini, kondisinya berbalik. Semarak jilbab telah mewarnai kembali kehidupan masyarakat Turki. Jilbab tampak dimana-mana. Sebagian kalangan menilai, semaraknya jilbab itu pertanda kebangkitan Islam di Turki. Di sisi lain, sekularisme yang ditancapkan Mustafa Kemal Ataturk mulai pudar.

Membaca fenomena kebangkitan Islam di Turki tak lepas dari sosok-sosok seperti Necmettin Erbakan, Recep Tayyip Erdogan, Abdullah Gul dan Ali Babacan dan juga Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) atau Partai Keadilan dan Pembangunan.

AKP lahir dalam kebuntuan politik, ketika partai Islam dipecundangi oleh kaum sekular yang dibekingi oleh rezim militer. Berbagai alasan dibuat untuk menggembosi setiap upaya membangunkan bangsa Turki agar kembali kepada Islam. Dimulai dari saat Partai Keselamatan Nasional (Milli Selâmet Partisi) pimpinan Necmettin Erbakan dibubarkan pada dekade 1990-an. Kemunculan Partai Refah sebagai penggantinya, yang juga digagas oleh Erbakan, juga tak berlangsung lama. Partai Refah dibubarkan oleh rezim militer pada tahun 1997.

Menang Telak

Erdogan adalah murid sekaligus pengagum Erbakan. Pengalaman pahit dibubarkannya partai Islam sebanyak dua kali, ditambah makar kaum sekular yang membuatnya dijebloskan ke dalam penjara, memaksanya untuk berpikir lebih cerdas dan strategis. Akhirnya, bersama Abdullah Gul dan Ali Babacan, Erdogan membentuk partai AKP pada 14 Agustus 2001.

Erdogan dan AKP mampu mempertahankan diri di atas panggung politik Turki selama lebih dari satu dekade. AKP mulai membangun kekuasaan politiknya sejak 2002, ketika AKP memenangkan pemilu parlemen (34 persen). Disusul pemilu 2007, AKP kembali memenangkan pemilu dengan suara mayoritas di parlemen (47 persen). Lalu pada pemilu 2011, AKP kembali memenangkan suara mayoritas, hampir 50 persen (326 kursi) parlemen. Ini merupakan prestasi politik luar biasa yang belum pernah terjadi dalam sejarah Turki modern.

Banyak faktor di balik kesuksesan AKP di panggung politik Turki. Pertama, kepemimpinan dalam Partai AKP dibangun atas dasar visi, integritas, kredibilitas, dan komitmen yang tinggi. Para pemimpin AKP bukanlah orang-orang yang haus kekuasaan. Tiga tokoh puncaknya, Erdogan, yang menjadi Perdana Menteri, Abdullah Gul, yang menjadi Presiden Turki, dan Ali Babacan, yang menjadi Deputi Perdana Menteri, bukanlah orang-orang yang mencari peluang untuk hidup mewah sehingga terjun ke dalam politik.

Mereka adalah cendekiawan yang  berlatar belakang ekonom dan pernah bekerja di lembaga dunia. Gul, misalnya, pernah bekerja di IDB (Islamic Development Bank), dan Bank Dunia.

Erdogan juga pernah bekerja di IDB dan bekas Walikota Istanbul yang sukses.  Sementara itu, Ali Babacan adalah ekonom jenius yang kini menjadi deputi perdana menteri sekaligus ketua tim negosiator Turki dengan negara Uni Eropa.

Faktor kedua, AKP di bawah pimpinan Erdogan berhasil membangun stabilitas ekonomi dan politik secara bersama-sama. Pendapatan per kapita rakyat Turki meningkat pesat, inflasi diturunkan dan pertumbuhan ekonomi digenjot. Turki juga berhasil menurunkan angka pengangguran hingga lebih dari 3 persen dalam setahun.  Turki menjelma menjadi salah satu kekuatan ekonomi besar di Eropa.

The Economist, sebuah majalah terkemuka di Amerika, tak ketinggalan memuji  keberhasilan “kaum Islamis AKP” dalam memimpin Turki.

Erdogan  maupun AKP memang tidak mengusung jargon-jargon syariah di lapangan. Walau begitu, faktanya, AKP berhasil membatalkan undang-undang yang melarang jilbab, mengajukan RUU agar zina termasuk dalam tindakan pidana, menghapuskan prostitusi, memerangi korupsi dan kemiskinan.

Erdogan didampingi isteri dan ibunda di Munas AKP (30 September 2012)

Erdogan dikritik oleh sebagian kalangan karena menyebut Turki bukanlah negara agama. Ia juga dikecam oleh sebagian kalangan karena berkata, “Demokrasi, sekularisme, dan kekuasaan negara yang diatur oleh undang-undang adalah prinsip utama dalam sebuah negara republik. Jika ada salah satunya yang hilang, maka pilar bangunan negara akan runtuh. Tidak ada kelompok manapun yang meresahkan pilar-pilar itu. Dengan keinginan masyarakat, maka pilar-pilar itu akan hidup seterusnya.” Ia mengungkapkan hal itu di hadapan para aktivis AKP, April 2007 silam.

Adakah yang keliru dari pernyataan di atas? Jika kita menyimak ungkapan pertama tentang negara republik, bukankah itu merupakan deskripsi terhadap fakta yang saat ini tengah terjadi di Turki dan di berbagai belahan dunia lainnya. Bukankah memang fakta yang belum bisa diubah hingga kini —dan bukan berarti tidak akan berubah— bahwa Turki bukanlah negara agama? Bukankah pernyataan itu tidak menafikan kemungkinan nyata bahwa partainya tengah memperjuangkan nilai-nilai Islam?

Sebagai bukti terhadap analisis ini, survei yang dilakukan sebuah lembaga penelitian sosial dan ekonomi bernama TESEV beberapa waktu lalu, menunjukkan bahwa jumlah orang yang menyatakan diri mereka sebagai Muslim meningkat 10 persen antara tahun 2002 dan 2007, dan hampir setengah dari mereka yang disurvei menyebut diri mereka islamis.

Ringkasnya, apa yang dinyatakan dan dilakukan Erdogan itu cuma sekadar strategi AKP untuk mempecundangi rezim sekular Turki yang begitu berurat-berakar dalam ruang politik Turki.

Yang dilakukan oleh AKP juga adalah “strategi potong generasi”. Sulit mengubah paradigma sekularisme yang dibangun sejak Kemal Ataturk memproklamasikan Republik Turki. Karena itu, AKP berkonsentrasi merekrut kader-kader dari kalangan muda. Terutama, mereka yang berusia 25-35 tahun. AKP juga gigih memperkuat jaringannya dengan mendirikan kantor-kantor perwakilan hingga ke pelosok desa.

Perjalanan Erdogan bersama AKP dan para aktivis Islam di Turki masih panjang. Terlepas dari berbagai kritik yang ditujukan terhadap berbagai langkah politiknya bersama para koleganya di AKP, Erdogan sukses meruntuhkan dominasi kaum sekular di Turki, bahkan tampil sebagai pembela terdepan bagi dunia Islam. Erdogan berhasil menghancurkan warisan Ataturk tanpa mengeluarkan sebutir peluru pun.

Syeikh “Beckenbauer” dari Istanbul

BOLEH jadi, jika tidak terjun ke politik, Erdogan akan menjadi pemain bola profesional yang akan bermain di klub-klub raksasa dunia seperti Real Madrid atau Barcelona.

“Kami adalah pelayan kalian. Maka, jika ada yang kalian kehendaki demi kebaikan rakyat dan negara kita, jangan sungkan-sungkan untuk kalian sampaikan,” ujar Erdogan suatu ketika saat menyambangi rakyatnya di Desa Onya, sebuah desa terpencil yang masuk kawasan Propinsi Ordu, wilayah pesisir Laut Hitam. Warga yang kebanyakan petani miskin itu histeris gembira dan berhamburan ke arah Erdogan. Mereka berebut menyalami dan memeluknya.

Karakter yang melekat dari sosok pria kelahiran Istanbul, 26 Februari 1954 ini adalah sederhana dan bersahaja. Ayah Erdogan, yang bekerja sebagai penjaga pantai di Angkatan Laut adalah seorang aktivis Islam yang relijius.

Sejak muda, Erdogan dikenal pandai bermain sepak bola. Ia bahkan pernah bergabung dengan klub sepak bola semi profesional. Ketika kesempatan untuk bergabung dengan liga professional terbuka, ayahnya melarangnya, dengan alasan banyak tugas yang lebih penting dalam hidup daripada sekadar bercengkrama dengan “si kulit bundar.”

Tak heran jika ia dijuluki sebagai Syeikh “Beckenbauer”. Gelar Syeikh berasal dari gurunya yang sering memberi kepercayaan kepadanya untuk mengajar atau menjadi imam. Adapun gelar “Beckenbauer” merujuk pada Franz Beckenbauer, legenda sepak bola asal Jerman.

Mencatat Sejarah Turki Modern

Setelah tamat dari sekolah menengah Islam, Erdogan melanjutkan kuliah di Universitas Marmara, Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Pada 4 Juli 1978, ia menikah dengan seorang Muslimah bernama Emine Gulbaran, aktivis muda politik kelahiran 1955 di Siirt.

Pada 27 Maret 1994, Erdogan terpilih menjadi walikota sekaligus Presiden Dewan Metropolitan Istanbul Raya, setelah partainya, Partai Refah (Partai Kesejahteraan) menang pada pemilu lokal. Saat menjabat walikota, Erdogan melarang segala praktek prostitusi dan minuman keras. Tapi itu tak menyurutkan popularitas Erdogan. Dalam sebuah jajak pendapat, ia terpilih sebagai walikota terfavorit dari 200 walikota di Turki.

Namun, kemudian Partai Refah dibubarkan oleh Dewan Nasional karena dianggap berseberangan dengan ideologi negara sekular yang dianut Turki. Pada Agustus 2001, Erdogan mendeklarasikan partai baru bernama Partai Keadilan dan Pembangunan (Adalet ve Kalkinma Partisi) atau biasa disingkat AKP.

Pada pemilu 2000,  AKP meraup  46, 7 persen suara, sebuah angka fantastis yang belum pernah diraih oleh partai manapun dalam sejarah Republik Turki modern. Angka ini sukses mendudukkan para kader AKP di atas 340 kursi dari total 550 kursi parlemen.

Dalam kemenangan itulah, Erdogan dan partainya mengajukan proposal RUU Paket Demokrasi, yang antara lain berisi: undang-undang yang membolehkan jilbab di sekolah, kampus, dan kantor-kantor pemerintah. Ini adalah sebuah perubahan fenomenal mengingat sejak berdirinya Republik Turki, jilbab dilarang di tempat-tempat publik. Karena pelarangan jilbab itulah, Erdogan terpaksa menyekolahkan putri-putrinya ke Amerika dan Eropa.

Kini, jilbab tak lagi menjadi pemandangan aneh di Turki. Jika kita berkunjung ke Istanbul, misalnya, mayoritas kaum Muslimah yang tampak di jalan pun berjilbab. Apalagi mereka mendapat contoh dari istri Presiden Turki Abdullah Gul dan istri Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan, yang juga berjilbab.[hidayatullah]

Dua pemimpin kebanggan ummat, Erdogan dan Mursy, Munas AKP (30/9/12)


___________ posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Kejayaan Indonesia
Share this article :

0 comments:

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template | PKS PIYUNGAN | PKS Tegal | PKS Magelang | PKS Jaktim | PKS Pontianak | PKS Sumut | MBO indonesia | Caksub
Copyright © 2013. PKS Kedungkandang - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger